Memperingati tujuh puluh tahun keberadaan Kebruderan Orde Fransiskan di Papua

Dalam tahun 1937 misionaris pertama dari  Kebruderan Orde Fransiskan tiba di Papua. Mereka berkarya di daerah yang berada di bawah tanggung jawab MSC (Latin: Missionarii Sacratissimi Cordis, Bhs. Indonesia: Para Misionaris dari Hati Suci) yang berpusat di Merauke. Tetapi mereka juga mulai berkarya di daerah Kepala Burung dan di daerah pantai utara. Sebelum Perang Dunia Kedua para misionaris memasuki daerah yang sebelumnya telah pernah dikunjungi, seperti Steenkool (Bintuni), Sorong, Manokwari dan Jayapura. Kaum Fransiskan juga melanjutkan perjalanan mereka sepanjang

pantai. Setelah perang selesai mereka memasuki daerah-daerah baru di pedalaman. Untuk menandai kepulangan Fransiskan Belanda terakhir dari Papua, Nico Boink membuat tayangan dokumenter: Kelompok pria dari Münninghoff.

Isi

1. Ordo Kebruderan Fransiskan
2. Karya misi di Papua
3. Misionaris Indonesia dan kaum imam lokal
4. Membela hak azasi manusia
5. Berkarya dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS
6. Kaitan
7. Narasumber

1. Ordo Fransiskan

Kaum Fransiskan merupakan pengikut dari Fransiskus dari Asisi (1182-1226).
Fransiskus bercita-cita hidup tanpa memiliki apa-apa sebagai saudara dari kaum miskin, ‘kaum hina-dina’, dan karena itu ia memilih nama ‘Ordo Saudara Dina”. Dalam tahun 1228  kaum pengikutnya mulai menetap di Negeri Belanda. Sebagai akibat dari Gerakan Reformasi kaum Fransiskan diusir dari propinsi Holland dan Zeeland dan memusatkan diri di bagian selatan Negeri Belanda sekarang. Dalam tahun 1853 berdirilah sebuah provinsi Belanda Ordo Fransiskan yang mandiri. Ordo pengemis Fransiskan semakin bertumbuh. Kaum Fransiskan bekerja detengah paroki (Katolik) dan mengajar di sekolah yang didirikan ordo tersebut. Di bidang pastoral mereka mengarahkan perhatian ke daerah dimana jemaah katolik relatif kurang. Kaum Fransiskan asal Belanda  bekerja baik di Belanda (di provinsi-provinsi sebelah utara) maupun di Cina, Brazilia, British India (sekarang India dan Pakistan), Jepang, Indonesia dan Papua. Dengan mencontohi pendiri mereka, kaum Fransiskan selalu berfihak kepada kaum lemah di dalam masyarakat.  Mereka berjuang demi keadilan dan perdamaian sambil menghormati penciptaan. Sekitar tahun enampuluhan jumlah peminat untuk bergabung dalam ordo ini semakin berkurang. Pada tahun 2009 di Belanda jumlah bruder dalam ordo ini tinggal hanya kira-kira dua ratus.  Sedangkan empat puluh misionaris masih berkarya di luar negeri.

2. Karya misi di Papua

Ordo Fransiskan ini memegang peranan penting dalam pembukaan kawasan di Papua. “Beranjak dari Mimika, yang pada tahun 1953 diserahkan kepada Ordo Fransiskan, suku Asmat dan suku-suku di Pantai Kasuari dan di daerah pedalaman yang terletak di belakang daerah suku-suku tersebut berhasil dicapai. Pembukaan kawasan tersebut yang berlangsung selama bertahun-tahun merupakan persoalan berat,” demikian tulis Jan Boelaars  dalam bukunya: Met de Papoea’s samen op weg (Berangkat bersama orang Papua).
Juga di bidang-bidang di luar agama para misionaris banyak berhasil, seperti di bidang perawatan kesehatan, budaya dan pendidikan. Lagipula mereka tetap menghormati tradisi dan tata cara ritual. Uskup pensiunan Herman Münninghoff, mantan uskup Jayapura, berkata tentang karya misi: “Dari hasil kerja  seorang misionaris, mungkin hanya sepuluh atau lima belas persen – saya tidak tahu, karena saya tidak menghitungnya – bertalian dengan agama dan gereja. Tetapi sisanya semua merupakan kegiatan di bidang kedokteran, bidang kesehatan, bidang budaya dan segala seluk beluknya yang mereka tidak mengerti. Saya anggap hal itu salah satu soal yang sangat penting.  Mengembangkan masyarakat seperti  tersebut di atas harus mendapat tempat utama dalam pekerjaan misi.”
Wartawan dan pengarang Dirk Vlasblom, penulis buku: Papoea, een geschiedenis (Papua, sebuah sejarah), mengatakan: “Kekuatan misi katolik selama seratus tahun yang terakhir terletak pada perhatiannya, dan kepekaannya dan rasa hormatnya terhadap budaya lokal. Dalam hal tersebut misi katolik berbeda dengan perhimpunan-perhimpunan penginjil asal Amerika yang menganggap adat istiadat dan ritual tradisional, benda-benda dan pesta-pesta sebagai pekerjaan iblis dan mengerahkan segenap tenaga untuk mematikan tradisi-tradisi tersebut.”

3. Misionaris Indonesia dan imam lokal

Pada awal tahun tujuh puluhan para misionaris yang mulai memasuki usia senja dan dilahirkan di Belanda secara berangsur-angsur  diganti dengan bruder warganegara Indonesia. Wartawan dan penulis Dirk Vlasblom berkoemntar: “Niscaya mereka memiliki motivasi yang sama untuk melakukan pekerjaan ini, cuma perhatian yang dicurahkan mereka terhadap budaya lokal tidak sebesar kaum pendahulu dari Belanda. Indonesianisasi gereja katolik di Papua dalam arti kecil merupakan ancaman bagi budaya Papua.”
Thomas Makai, imam Papua asli, ditahbiskan sebagai imam dalam tahun 1980. Ia mengatakan: “Kami menjadi orang Kristen bukan karena orang tua kami, tetapi karena para misionaris. Kami orang Kristen generasi pertama. Saya harus mengabdikan hidup saya untuk  kesejahteraan orang Papua. Itulah artinya penahbisan tersebut. Penahbisan saya sebagai imam tidak pernah saya sesali.”

4. Membela hak asasi manusia.

Pada tahun 1969 setelah Papya menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia kegiatan pertambangan Freeport mulai dilaksanakan dari Mimika di Pegunungan Cartstensz. Tambang emas dan tembaga tersebut merupakan salah satu tambang terkaya di dunia yang telah memberi dampak besar terhadap masyarakat yang tinggal di sekitarnya dan lingkungan hidup mereka.
Sejak tahun 1997 Freeport memberikan satu persen dari keuntungannya kepada suku-suku Papua yang hidup di daerah kawasan Freeport. Uskup Saklil dari Keuskupan Timika berkata:  “Peraturan satu persen tersebut ibarat sebuah tulang babi yang dilempar di tengah anjing-anjing yang kemudian berkelahi merebutnya.”
Dalam tahun 1995 bruder Fransiskan Theo van den Broek mendirikan Sekretariat  Keadilan dan Perdamaian. Organisasi ini mencari perhatian dunia terhadap situasi buruk bangsa Papua. Organisasi tersebut juga memberi pelajaran tentang hak asasi manusia di daerah-daerah terpencil Papua. Wartawan Dirk Vlasblom dalam tahun 2000 menghadiri salah satu pertemuan di tengah suku Ngalum di Pegunungan Bintang. “Bruder Fransiskan itu (Van den Broek, red.) pada kesempatan tersebut memberi penjelasan tentang persamaan dan perbedaan antara hak asasi manusia dan adat (hukum kebiasaan) istiadat suku Ngalum,” menurut laporan kunjungunnya dalam koran NRC Handelsblad  “Adat telah mengatur kehidupan masyarakat yang harmonis sebelum dunia kalian mulai terbuka sekitar tahun 1960. Adat itu tetap penting tetapi kurang mampu memberi jawaban terhadap semua masalah, karena dalam pergaulan sesama orang dalam dunia yang telah bertambah luas berlaku aturan-aturan baru”. Van den Broek memberi contoh-contoh hak asasi manusia (‘adat baru’): “Hak atas pendidikan untuk anak-anak kalian, hak agar tidak diganggu oleh tentara dan polisi, namun juga hak yang sama untuk laki-laki dan perempuan.”

5. Berkarya dalam penanggulangan hiv-aids

Aids merupakan masalah yang tumbuh dengan sangat cepat di Papua. Jumlah pasien dengan aids saat ini bertambah begitu pesat, sampai Papua menjadi daerah dengan angka persentase tertinggi  penderita Aids di seluruh Indonesia. Di Timika, Fransiskan Bert Hagendoorn mengabdikan diri untuk menolong kaum penderita HIV-AIDS. Dalam tahun 2002 ia mendirikan Yayasan Peduli Aids Timika. Yayasan ini memberi pertolongan kepada penderita hiv-aids atau orang yang dalam keluarganya berurusan dengan masalah tersebut. Hagendoorn membimbing penderita  hiv-aids dan keluarga mereka, memberi penyuluhan dan membagikan kondom.
“Orang Mimika yang tinggal di pantai melakukan ritus inisasi terhadap seorang anak laki-laki pada saat dia diangkat masuk ke dalam kelompok lelaki dewasa. Salah satu bagian dari ritus tersebut adalah penyuluhan seks bukan saja teorinya tetapi juga prakteknya. Maka bisa terjadi pada suatu malam sepuluh sampai dua puluh anak laki-laki melakukan hubungan seks dengan perempuan yang sama. Ini berarti bahwa kalau salah seorang di antara mereka menghidap virus tersebut, keseluruhan kelompok tadi pulang ke rumah dengan virus itu,” demikian kata Hagendoorn. Ia mengatalan bahwa dari pihak keuskupan tidak ada tanda-tanda perhatian terhadap proyek ini. “Ini sangat menyedihkan, karena dari seluruh anggota paroki yang sekarang masih ada, kami tahu bahwa dalam lima tahun mendatang duapertiga dari mereka tidak hidup lagi.”

Kaitan:

- Dalam sumbangannya “ Apa yang terjadi  kemudian dengan kaum Fransiskan?” Theo Vergeer OFM memberi gambaran tentang pengalaman jemaat di Papua setelah tahun 1987.
- Nico Boink  diwawancarai  Rachèl Nieuwstede tentang hasil dokumenter tahun 2007
- Masalah aids di Papua (07-11-2008, Al Jazeerah TV)
- Krisis aids di Papua di YouTube (6 Nop 2008): bag. 1 dan bag. 2
- Lihat juga Potret romo Tom Tetterroo

Narasumber:

- Nico Boink, Kaum pria Münninghoff, dvd, 2007
- Website Saudara Dina Fransiskan
- Boelaars, Jan H.M.C., Berangkat bersama orang Papua. Kaum perintis – Permulaan suatu misi, J.H. Kok Kampen, 1995
- Peter Jan Margry, Arsip warisan para Fransiskan Belanda di Papua, Oceania News letter 15, maart 1995
- “Pembunuhan murni berjangka panjang,’ perjuangan Romo Bert Hagendoorn melawan AIDS di Timika, West Papua Courier, 7 August 2003
- Dirk Vlasblom, Reformasi memecahkan kesunyian menakutkan orang Ngalum, NRC Handelsblad 21 september 2000